Foto diambil di RAJA AMPAT |
KISAH
YANG TAK TERULANG
Oleh: Bagus
Arif Setyawan
Tiba-tiba saja aku sudah ditarik dari tempat aku
mengabdi. Aku merasa kesal sekaligus senang. Kesalku aku merasa belum cukup memberikan
perhatianku sepenuhnya untuk siswaku. Senangnya aku bisa menghirup udara
teknologi nantinya di tempat tinggalku.
Aku adalah salah satu
guru yang ditugaskan di pedalaman Papua Barat. Atori merupakan nama kampung
itu. Kampung yang harus aku datangi menggunakan jalur laut dan muara sungai
dari pusat kabupaten. Kala itu bulan September 2014, aku bersama teman-teman
menaiki kapal Fajar Mulia II menuju lokasi tugas. Selama 3 hari 2 malam
perjalanan yang kami lakukan, mulai dari Teminabuan kemudian berlabuh di
Inanwatan (berkuranglah temanku), dan berakhir di Kokoda. Sungguh pengalaman
yang sangat luar biasa dan takkan terulang kembali. Waktu itu hanya dengan
membayar uang seratus ribu rupiah
kami bisa naik dan mendapat sebungkus nasi.
Kokoda adalah persinggahan terakhir
bagi kami untuk turun, namun karena tiada dermaga maka kami turun langsung naik
longboat yang ada. Awalnya takut dan ragu-ragu, mau apa lagi kami pun satu
persatu turun melompat dari Kapala ke Loangboat. Loangboat pun kandas di bibir
pantai karena air laut surut. Kami pun berjalan menuju tempat tugas dengan
berjalan kaki. Aku bermalam sejenak di sana, masih separuh perjalanan ‘kata
kepala sekolah’. Sungguh pengalaman yang dramatis dan takkan aku bisa ulang
kembali.
Malam
pun berlalu, mentari terik dan angin berhembus dengan lembut. Aku bersama temanku dan kepala sekolah melanjutkan
perjalanan menuju lokasi tugas yaitu kampung Atori. Dengan sebuah loangboat
tanpa atap kami berangkat menuju lokasi. Kami tidak mengenakan pelampung,
sungguh berani bukan. Padahal waktu itu ombak sedikit menemani perjalanan kami.
Menurut kepala sekolah perjalanan menuju lokasi membutuhkan waktu 8 jam. Memang
benar, namun bisa lebih tergantung mesin loangboat yang digunakan dan
pengemudi. Di perjalanan kami singgah di sebuah Distrik milik teluk Bentuni. Di
sana kami menginap semalaman di rumah atau tempat tinggal peserta SM-3T yang
ditugaskan di sana. Sungguh melelahkan dan menyedihkan waktu itu, kami tidak
berdaya oleh alam yang menemani kita.
Esok
paginya kami melanjutkan perjalanan, ditemani terik mentari yang menyengat.
Kami merasa loyo dan dehidrasi karena panas mentari saat itu sungguh membakar
kulit. Sekitar 5 jam lamanya kami duduk di loangboat tanpa kencing atau BAB.
Perjalanan yang melelahkan dan butuh kesabaran dan kehati-hatian. Pasalnya
ketika kami singgah dan bermalam, kami mendengar kisah bahwa ada buaya di muara
yang akan kami lalui itu. Namun dalam perjalanan aku cari-cari ternyata tak
muncul satu ekor pun buaya yang aku dapati. Sungguh membuat hati dag dig dar, padahal sudah aku siapkan
kamera untuk memotret buaya itu. “Mungkin karena air pasang jadi buaya tidak
menampakkan diri” kata kepala sekolah.
Akhirnya
perjalanan kami terbayar juga, kami sampai di kampung Atori. Sebelumnya kami
melewati kampung Kamundan I dan II. Sayang sungguh sayang, rumah atau kopel
guru masih berantakan padahal tubuh sudah lelah dan letih. Akhirnya kami
dibantu anak murid membersihkan kopel. Siang pun berlalu begitu saja tiada yang
spesial, sorenya mendadak ada warga membawa tombak dan menyodorkan kaki rusa.
Aku pun menerimanya dan aku ucapkan terimakasih. Segera aku memberi tahu teman
dan kepala sekolah, sepertinya orang yang menyodorkan kaki rusa esoknya menemui
kepala sekolah.
Akhirnya
tugas dimulai sudah, namun karena siswa masih belum datang aku dan 2 temanku
harus membantu 1 teman yang ada di SD Bukit Zaitun untuk mengajar di sana. Dua
minggu lamanya hingga siswa SMP Persiapan Kokoda Utara datang semua.
Pembelajaran pun dimulai namun ada sesuatu yang jangan siswa masih belum pandai
membaca dan menulis. Inilah polemik dan problem yang jadi priyoritas utama.
Seiring pembelajaran dimulai aku mengjarkan mereka cara membaca dan menulis.
Namun masih saja mereka masih malu-malu mengeluarkan kata dari mulut mereka.
Hingga tak terasa ujian semester ganjil dan genap berlalu. Ujian nasional dan
praktek pun usai.
Bulan
Agustus 2015 ini, aku merasa sedih karena aku sudah akan kembali ke rumah. Tiba-tiba
saja aku sudah ditarik dari tempat aku mengabdi. Aku merasa kesal sekaligus
senang. Kesalku aku merasa belum cukup memberikan perhatianku sepenuhnya untuk
siswaku. Senangnya aku bisa menghirup udara teknologi nantinya di tempat
tinggalku. Pengabdianku semoga menjadi pengalaman dan kisah yang tak
terlupakan. Aku yang memilih untuk melakukan tiada yang bisa menghentikan.
Nah bagaimana teman-teman ceritanya cukup menarik bukan. Kalian bisa bagikan ke teman kalian lainnya atau ingin cerita kamu bisa terpajang di sini. Kirim saja ke inisialbas@gmail.com nanti ceritamu aku posting gratis.
0 Response to "#Edisi September 2015 Pulang dari Pengabdian"
Post a Comment